11 Alasan Dilarang Menikah Lagi Setelah Bercerai - Bagian 3

Lanjutan dari Bagian 2. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel yang ditulis oleh John Piper dalam blognya Desiring God, jadi ini merupakan pandangan Piper tentang 'pernikahan kembali setelah perceraian' berdasarkan prinsip-prinsip Firman Tuhan di dalam Alkitab. Pesan Injil memilih untuk memposting terjemahannya karena kami setuju dengan pandangan ini tentang 'kemungkinan menikah lagi setelah perceraian'.

Karena panjangnya artikel, maka posting dibagi menjadi 3 bagian. Berikut ini


Pandangan Kedua tentang Menikah Lagi Setelah Bercerai. 




11 Alasan mengapa saya percaya bahwa semua pernikahan lagi setelah perceraian dilarang jika kedua pasangan masih hidup.
 

11
Klausula pengecualian dalam Matius 19:9 tidak menyiratkan bahwa perceraian akibat perzinahan membebaskan seseorang untuk dapat menikah lagi. Semua bukti yang memberatkan dalam Perjanjian Baru yang diberikan dalam sepuluh poin sebelumnya, semuanya melawan pandangan ini, dan ada beberapa cara untuk memahami ayat ini dengan baik agar tidak bertentangan dengan ajaran luas dari Perjanjian Baru bahwa pernikahan kembali setelah perceraian itu dilarang.




Matius 19:9: Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.




11.1 Beberapa tahun yang lalu saya mengajar jemaat dalam dua kebaktian sore mengenai pemahaman saya tentang ayat ini dan berpendapat bahwa kata "kecuali karena zinah" tidak merujuk kepada perzinahan tetapi pada percabulan seksual pranikah yang dilakukan pria atau wanita terhadap pasangan nikahnya. Sejak saat itu saya telah menemukan orang lain yang berpandangan sama dan yang telah memberikan sebuah penjelasan yang lebih pintar tentang pandangan ini daripada penjelasan saya. Saya juga telah menemukan banyak cara lain untuk memahami ayat ini yang juga termasuk tentang diperbolehkan atau tidaknya menikah lagi setelah bercerai. Beberapa dari ini disimpulkan dalam buku yang ditulis oleh William Heth dan Gordon J. Wenham, berjudul Jesus and Divorce (Nelson: 1984).




11.2 Di sini saya hanya akan memberikan ringkasan singkat tentang pandangan saya sendiri dari Matius 19:9 dan mengapa saya berpandangan demikian.



Pada awalnya, pertama-tama, saya terganggu dengan bentuk mutlak dari pengutukan oleh Yesus atas perceraian dan pernikahan kembali dalam Markus 10:11,12 dan Lukas 16:18 yang tidak dipertahankan oleh Matius, jika pada kenyataannya klausula pengecualian ini adalah celah untuk perceraian dan untuk bisa menikah lagi. Saya terganggu oleh asumsi sederhana yang dibuat oleh begitu banyak penulis bahwa Matius hanya memperjelas secara implisit sesuatu yang seharusnya telah secara implisit dipahami oleh para pendengar Yesus atau para pembaca Markus 10 dan Lukas 16.



Apakah mereka benar-benar telah berasumsi bahwa pernyataan mutlak ini disertai suatu pengecualian? Saya memiliki keraguan yang sangat kuat, karena kecenderungan saya adalah untuk menanyakan benar atau tidaknya klausula pengecualian dalam Matius ini sesuai dengan kemutlakan dalam Markus dan Lukas.




Hal kedua yang mulai mengganggu saya adalah pertanyaan, ‘mengapa Matius menggunakan kata porneia ("kecuali karena imoralitas/perbuatan amoral" dalam Alkitab bahasa Indonesia kata porneia dan moicheia keduanya diterjemahkan 'zinah') dan bukan menggunakan kata moicheia yang berarti perzinahan?’ Hampir semua komentator tampaknya membuat asumsi sederhana lagi bahwa porneia berarti perzinahan dalam konteks ini. Pertanyaan ini terus merong-rong saya ‘mengapa Matius tidak akan menggunakan kata moicheia untuk mengatakan perzinahan, jika memang itu yang sebenarnya ia maksudkan.

 

Kemudian saya melihat sesuatu yang sangat menarik. Satu-satunya tempat lain selain Matius 5:32 dan 19:9 di mana Matius menggunakan kata porneiais,  adalah di Matius 15:19 di mana ia menggunakan kata porneiai bersama dengan kata moicheia. Oleh karena itu, bukti kontekstual utama untuk penggunaan kedua kata ini oleh Matius adalah bahwa ia memaksudkan kata porneia sebagai sesuatu yang berbeda dari perzinahan. Lalu apakah ini berarti bahwa Matius menggunakan kata porneia dalam arti normal yang berarti ‘percabulan’ atau ‘incest ‘ (l Korintus 5:1) dan bukannya perzinahan?



A. Isaksson setuju dengan pandangan ini tentang pengartian kata porneia dan meringkas penelitiannya seperti ini (pada halaman 134-135 buku berjudul Marriage and Ministry):



Jadi kita tidak bisa menjauh dari kenyataan bahwa ada perbedaan antara apa yang dianggap sebagai porneia dan apa yang dianggap sebagai moicheia yang secara sangat ketat dipertahankan dalam literatur Yahudi pra-Kristen dan dalam Perjanjian Baru. Porneia, mungkin, tentu saja, menunjuk pada bentuk-bentuk penyimpangan hubungan seksual terlarang, tetapi kami tidak dapat menemukan contoh pasti dari penggunaan kata ini untuk menunjukkan perzinahan seorang istri. Dalam situasi ini kita tidak dapat berasumsi bahwa kata ini berarti perzinahan dalam klausul pengecualian di Matius. The logia on divorce (kumpulan pernyataan Yesus Kristus tentang perceraian) diformulasikan sebagai suatu paragraph hukum, yang dimaksudkan untuk ditaati oleh anggota Gereja. Dalam situasi ini tidak dapat dibayangkan bahwa dalam sebuah teks yang berhakekat sama ini si penulis tidak  mempertahankan perbedaan yang jelas antara apa yang dimaksud sebagai ‘percabulan’ dan apa yang dimaksud sebagai ‘perzinahan’: moicheia,  bukan porneia yang digunakan untuk menggambarkan perzinahan istri. Dari sudut pandang filologis (suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur, perkembangan sejarah, dan hubungan-hubungan dalam suatu bahasa atau dalam bahasa-bahasa) ada kesesuaian argumentasi yang sangat kuat melawan interpretasi bahwa klausula ini seolah  mengizinkan perceraian dalam kasus di mana istri berzinah.




Petunjuk berikutnya dalam pencarian saya untuk mencari kejelasan datang ketika saya menemukan  penggunaan kata porneia dalam Yohanes 8:41 di mana orang-orang Yahudi tidak langsung menuduh Yesus dilahirkan dari porneia. Dengan kata lain, karena mereka tidak menerima kelahiran dari seorang perawan, mereka menganggap bahwa Maria telah melakukan percabulan (porneia), maka mereka bisa beranggapan bahwa Yesus adalah hasil dari tindakan ini. Atas dasar petunjuk ini, saya kembali mempelajari catatan Matius tentang kelahiran Yesus dalam Matius 1: 18-20. Dan penelitian in sangat mencerahkan.




Dalam ayat-ayat ini Yusuf dan Maria disebut sebagai suami (aner) dan istri (gunaika). Namun, mereka digambarkan sebagai hanya telah bertunangan. Ini kemungkinan karena fakta bahwa kata-kata yang dipakai untuk ‘suami’ dan ‘istri’ adalah kata ‘pria’ dan ‘wanita’; serta fakta bahwa pertunangan  pada masa itu merupakan suatu bentuk komitmen yang jauh lebih signifikan dibandingkan pertunangan di masa sekarang. Dalam ayat 19 Yusuf memutuskan "untuk menceraikan" Maria. Kata cerai adalah sama dengan kata dalam Matius 5:32 dan 19:9. Tetapi yang paling penting dari semuanya, Matius mengatakan bahwa Yusuf "bermaksud" dalam membuat keputusan untuk menceraikan Maria, mungkin karena ia menduga Maria telah berbuat porneia =percabulan.



Oleh karena itu, sebagaimana Matius melanjutkan untuk membangun narasi Injil ini, dalam pasal 5 dan kemudian dalam pasal 19, Matius menemukan perlunya untuk melarang semua pernikahan lagi setelah perceraian (seperti yang diajarkan oleh Yesus) dan lalu memungkinkan untuk "perceraian" seperti yang Yusuf rencanakan terhadap Maria tunangannya ketika ia pikir Maria bersalah telah berbuat percabulan (porneia). Oleh karena itulah, Matius menuliskan klausula pengecualian secara khusus untuk membebaskan Yusuf, tetapi juga secara umum untuk menunjukkan bahwa jenis "perceraian" yang dikehendaki seseorang ketika masih dalam ikatan pertunangan akibat tindakan percabulan pasangannya tidak termasuk dalam larangan mutlak Yesus.




Keberatan umum untuk penafsiran ini adalah: bahwa baik dalam Matius 19: 3-8 dan dalam Matius 5:31-32 hal yang Yesus tanggapi adalah perceraian dalam pernikahan, bukan perceraian dalam pertunangan. Intinya ditekankan bahwa klausula "kecuali karena percabulan" tidak relevan diterapkan dalam konteks pernikahan.
 
Jawaban saya adalah:  bahwa penyimpangan ini hanyalah inti yang ingin ditekankan Matius. Kita mungkin menyalah-artikan begitu saja seakan-akan bercerainya pasangan yang bertunangan karena percabulan bukanlah suatu "perceraian" yang berdosa dan tidak melarang untuk menikah lagi. Tapi kita tidak bisa berasumsi bahwa para pembaca Matius juga akan menyalah-artikan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Matius.



Bahkan dalam Matius 5:32, di mana tampaknya sia-sia bagi kita untuk mengecualikan "kasus percabulan" (karena kita tidak bisa mengerti bagaimana mungkin seorang perawan yang telah bertunangan "berbuat cabul" dalam bentuk apapun), hal ini mungkin akan ada gunanya bagi para pembaca Matius. Dengan demikian, hal ini juga akan ada gunanya bagi setiap pembaca: jika Yesus berkata, "Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah," seorang pembaca Injil Matius bisa saja bertanya:  ‘Jadi apakah Yusuf akan menjadikan Maria berzinah?" Pertanyaan ini dapat dianggap tidak masuk akal karena jika dengan menceraikan istrinya, maka membuat istrinya berzinah; lalu bagaimana mungkin bisa membuat perempuan yang belum menikah menjadi pezinah, karena kalau belum menikah berarti tidak bisa menceraikannya. Ini  bukannya pertanyaan yang tidak bermakna atau, mungkin bagi sebagian pembaca, pertanyaan sia-sia, karena Matius memang telah secara eksplisit menunjukkan bahwa pengecualian ini jelas adalah dalam kasus percabulan dalam konteks pertunangan.






Penginterpretasian klausula pengecualian 'kecuali karena zinah" ini memiliki beberapa keuntungan:



  • Ini tidak memaksa Matius bertentangan dengan hakekat arti mutlak dari Markus dan Lukas dan seluruh jajaran ajaran Perjanjian Baru yang telah ditetapkan atas bagian 1-10, termasuk pengajaran mutlak dari Matius sendiri dalam 19:3-8.
  • Ini menyediakan sebuah penjelasan mengapa kata porneia digunakan dalam Matius tentang klausul pengecualian, dan bukannya kata moicheia.
  • Ini pas dengan penggunaan kata porneia oleh Matius sendiri untuk kata percabulan dalam Matius 15:19
  • Ini sesuai dengan tuntutan konteks Matius yang lebih luas tentang perceraian yang direncanakan Yusuf.



Sejak pertama kali saya menulis penjelasan tentang Matius 19:9 ini, saya telah menemukan sebuah pasal tentang pandangan ini dalam buku yang ditulis Heth dan Wenham, berjudul Jesus and Divorce dan sebuah pertahanan ilmiah mengenai hal ini dalam buku yang ditulis  A. Isaksson, berjudul Marriage and Ministry in the New Temple (1965).

-----

Posting ini merupakan terjemahan dari sebagian besar artikel tulisan John Piper* yang berjudul: Eleven Reasons Why I Believe All Remarriage After Divorce Is Prohibited While Both Spouses Are Alive
*John Piper (@JohnPiper) adalah pendiri dan guru desiringGod.org dan konselir dari Bethlehem College & Seminary. Selama 33 tahun, ia menjabat sebagai Pendeta dari Gereja Baptis Betlehem, Minneapolis, Minnesota. Dia adalah penulis lebih dari 50 buku, termasuk salah satunya yang berjudul A Peculiar Glory.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar