Lanjutan dari Bagian 1. Artikel
ini merupakan terjemahan dari artikel yang ditulis oleh John Piper dalam
blognya Desiring God, jadi ini merupakan pandangan Piper tentang
'pernikahan kembali setelah perceraian' berdasarkan prinsip-prinsip Firman
Tuhan di dalam Alkitab. Pesan Injil memilih untuk memposting terjemahannya
karena kami setuju dengan pandangan ini tentang 'kemungkinan menikah lagi
setelah perceraian'.
Karena panjangnya artikel, maka posting dibagi menjadi 3
bagian. Berikut ini
Pandangan Kedua tentang Menikah Lagi Setelah Bercerai.
11 Alasan
mengapa saya percaya bahwa semua pernikahan lagi
setelah perceraian dilarang jika kedua pasangan masih hidup.
6
1 Korintus
7:39 dan Roma 7:1-3 mengajarkan bahwa pernikahan kembali adalah sah hanya
setelah kematian pasangan.
1 Korintus
7:39: Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah
meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal
orang itu adalah seorang yang percaya.
Roma 7:1-3 1 Apakah
kamu tidak tahu, saudara-saudara, --sebab aku berbicara kepada mereka yang
mengetahui hukum--bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup? 2
Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu
hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang
mengikatnya kepada suaminya itu. 3 Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia
menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari
hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.
6.1 Kedua
ayat-ayat ini (1 Korintus 7:39; Roma 7:2) mengatakan secara eksplisit bahwa
seorang wanita terikat kepada suaminya selama dia hidup. Tidak ada pengecualian
secara eksplisit yang menyarankan bahwa dia bisa bebas dari suaminya untuk
menikah lagi atas dasar apapun.
7
Matius
19:10-12 mengajarkan bahwa karunia khusus diberikan oleh Allah kepada
murid-murid Kristus untuk menjaga mereka tetap dalam kondisi lajang ketika
mereka menyerahkan diri dalam pernikahan menurut hukum Kristus.
Matius
19:10-12: 10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian
halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." 11 Akan
tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti
perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. 12 Ada orang yang tidak dapat
kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang
dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian
karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti
hendaklah ia mengerti.
7.1 Sebelum
masuk pada bagian ini dalam Matius 19:9 Yesus melarang semua pernikahan
kembali setelah perceraian. (Saya akan membahas arti "kecuali karena
zinah" di bawah ini.) Larangan ini tampak seperti larangan tanpa toleransi
kepada murid-murid Yesus: Jika engkau menutup setiap kemungkinan untuk menikah
lagi, maka engkau membuat pernikahan menjadi sangat berisiko sehingga akan
lebih baik untuk tidak menikah, karena engkau mungkin akan
"terjebak" untuk hidup melajang sepanjang sisa hidupmu atau engkau mungkin
akan "terjebak" dalam suatu pernikahan yang buruk.
7.2 Yesus
tidak menyangkal kesulitan yang luar biasa dari perintah-Nya. Sebaliknya, ia
mengatakan dalam ayat 11, bahwa kemampuan untuk memenuhi perintah untuk tidak
menikah lagi adalah karunia ilahi kepada murid-murid-Nya. Ayat 12 merupakan
argumentasi bahwa kehidupan seperti ini memang dimungkinkan karena ada orang-orang
yang demi kerajaan Allah, serta alasan lain yang lebih tidak penting, telah
mendedikasikan diri mereka untuk menjalani hidup melajang.
7.3 Yesus
tidak mengatakan bahwa beberapa orang murid-Nya memiliki kemampuan untuk
menaati perintah untuk tidak menikah lagi dan beberapa tidak. Dia mengatakan
bahwa tanda seorang murid adalah bahwa mereka menerima berkat berupa penguasaan
diri sementara yang orang-orang yang bukan murid Yesus tidak menerimanya. Bukti
untuk ini adalah a) paralel antara Matius 19:11 dan 13:11, b) paralel antara
Matius 19:11 dan 13:9,43; 11:15, dan c) paralel antara Matius 19:11 dan 19:26.
8
Ulangan 24: 1-4 tidak membuat hukum dasar
bagi perceraian tapi mengajarkan bahwa hubungan "satu daging" yang
didirikan oleh perkawinan tidak dibatalkan oleh perceraian, bahkan tidak dibatalkan oleh
menikah lagi.
Ulangan 24:1-4: 1 Apabila
seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian
ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh
padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan
itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, 2 dan jika perempuan itu
keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, 3 dan
jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat
cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari
rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu
mati, 4 maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak
boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari;
sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan
dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik
pusakamu.
8.1 Hal yang luar biasa tentang empat ayat ini adalah
bahwa, sementara perceraian disalah-gunakan, di sisi lain wanita yang bercerai
menjadi "najis" karena pernikahan berikutnya (ayat 4). Mungkin saja
ketika orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus tentang apakah perceraian itu
sah, Yesus memberikan jawaban yang menentang hal itu bukan hanya berdasarkan
tujuan semula Allah yang dinyatakan dalam Kejadian 1:27 dan 2:24, tetapi juga
pada implikasi dalam Ulangan 24:4 bahwa menikah lagi setelah bercerai
menajiskan seseorang. Dengan kata lain, ada banyak petunjuk dalam hukum Musa
bahwa pengecualian atas perceraian itu atas dasar kekerasan hati manusia dan
sama sekali tidak membuat bercerai dan menikah lagi menjadi sah.
8.2 Larangan
agar istri tidak kembali ke suami pertamanya bahkan setelah suaminya yang kedua
meninggal (karena itu merupakan kekejian) menunjukkan dengan sangat kuat bahwa
saat ini tidak ada pernikahan kedua yang harus hancur supaya mengembalikan
pernikahan pertama (untuk penjelasan Heth dan Wenham tentang hal ini
lihat buku Jesus and Divorce, halaman 110).
9
1 Korintus
7:15 tidak berarti bahwa ketika seorang Kristen diceraikan oleh pasangannya
yang belum percaya maka dia bebas untuk menikah lagi. Ini hanya berarti bahwa
orang Kristen itu tidak terikat untuk melawan dengan tujuan menjaga
kebersamaan. Berpisah diperbolehkan apabila pasangan yang tidak percaya
bersikeras untuk berpisah.
1 Korintus
7:15: Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai,
biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak
terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
9.1 Ada beberapa
alasan mengapa kalimat "tidak terikat" tidak dapat ditafsirkan
berarti "bebas untuk menikah lagi."
9.11
Pernikahan adalah tata cara penciptaan yang mengikat semua makhluk manusia
ciptaan Allah, terlepas dari keyakinan atau kurangnya iman mereka.
9.12 Kata yang
digunakan untuk "terikat" (douloo) dalam ayat 15 tidak sama dengan
kata yang digunakan dalam ayat 39 di mana Paulus berkata, "Isteri
terikat (deo) kepada suaminya selama ia hidup." Paulus secara konsisten
menggunakan kata deo ketika berbicara tentang aspek hukum yang mengikat satu
pasangan dalam pernikahan (Roma 7:2; l Korintus 7:39), atau ketika seseorang
bertunangan (l Korintus 7:27). Tetapi ketika ia mengacu pada pasangan yang
diceraikan untuk kata ‘tidak terikat’ dalam l Korintus 7:15, ia memilih
kata yang berbeda (douloo) yang kami harapkan akan ia gunakan ketika ia tidak
memberikan pasangan yang diceraikan itu kebebasan yang sama untuk menikah lagi
seperti halnya ia memberikan kebebasan itu pada pasangan yang pasangannya telah
meninggal (ayat 39).
9.13 Ungkapan
terakhir dari ayat 15 ("Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai
sejahtera") mendukung ayat 15 dengan sangat baik jika Paulus mengatakan
bahwa pasangan yang diceraikan tidak "terikat untuk melawan" untuk
mempertahankan pernikahan / agar pasangan yang akan menceraikannya itu untuk
tetap tinggal. Saya melihat bahwa damai sejahtera Allah telah memanggil kita
untuk berdamai dalam arti menjaga keharmonisan pernikahan. Oleh karena itu,
jika pasangan yang tidak percaya bersikeras ingin bercerai, maka pasangan yang
percaya tidak terikat untuk tetap bertahan hidup dalam konflik terus menerus
dengan pasangannya yang tidak percaya itu, tetapi ia bebas dan tidak bersalah
dalam membiarkan pasangannya itu untuk menceraikannya.
9.14 Pemahaman
ini juga mempertahankan harmoni yang lebih dekat dengan apa yang dimaksudkan
dalam ayat 10-11, di mana perceraian yang tak terelakkan tidak menjadikan
seseorang yang bercerai berhak untuk menikah lagi.
9.15 Ayat 16 ("Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak
akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami,
apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?”) merupakan argumentasi bahwa
anda tidak bisa mengetahui, sehingga tidak seharusnya berharap untuk
menyelamatkan pasangan mereka dengan terus berjuang mempertahankan pasangannya
yang sudah memaksa bercerai. Ayat ini mendukung pemahaman ayat 15 dengan fokus
pada ‘supaya seseorang tidak diperbudak untuk terus memperjuangkan keutuhan
rumah tangga yang telah kacau’, bukan ‘supaya seseorang tidak diperbudak untuk
tetap melajang setelah ia bercerai’.
9.16 Paulus
tidak melihat kehidupan melajang sebagai perbudakan, jadi tidak akan menyebut
keharusan untuk tetap melajang sebagai ‘diperbudak’.
10
1 Korintus
7:27-28 tidak mengajarkan hak orang-orang yang bercerai untuk menikah lagi. Ini
mengajarkan bahwa perawan yang telah bertunangan seharusnya secara serius
mempertimbangkan kehidupan melajang, tetapi jangan berbuat dosa jika mereka
menikah.
1 Korintus
7: 27-28: 27 Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah
engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang
perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! 28 Tetapi, kalau engkau kawin,
engkau tidak berdosa. Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa.
Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau
menghindarkan kamu dari kesusahan itu.
10.1 Baru-baru
ini beberapa orang berpendapat bahwa ayat ini berkaitan dengan orang yang telah
bercerai karena dalam ayat 27 Paulus bertanya, "Adakah engkau tidak
terikat (secara harfiah: dilepaskan) pada seorang perempuan?” Banyak orang
berasumsi bahwa Paulus memaksudkan begini, "Adakah engkau telah bercerai?"
Jika Paulus memang memaksudkan demikian, maka seharusnya ia akan mengatakan
dalam ayat 28 bahwa tidak berdosa ketika orang bercerai menikah lagi. Ada
beberapa alasan mengapa penafsiran ini sangat tidak mungkin.
10.11 Ayat 25
menandai bahwa Paulus memulai bagian baru dan berurusan dengan persoalan baru.
Dia mengatakan, "Sekarang tentang para gadis (ton parthenon). Untuk mereka
aku tidak mendapat perintah dari Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku
sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari
Allah. " Paulus telah berurusan dengan masalah orang-orang yang bercerai
pada ayat 10-16. Sekarang, ia memulai persoalan baru tentang mereka yang belum
menikah, dan ia menandainya dengan mengatakan, " Sekarang tentang para
gadis." Oleh karena itu, sangat tidak mungkin bahwa orang-orang yang
dimaksudkan dalam ayat 27 dan 28 ini adalah orang-orang yang sudah bercerai.
10.12 Jika
dalam ayat 28 Paulus menyatakan bahwa tidaklah berdosa bagi orang-orang
yang telah bercerai untuk menikah lagi. Maka ayat ini akan bertentangan dengan
ayat 11, di mana ia mengatakan bahwa seorang wanita yang telah berpisah dari
suaminya harus tetap melajang (Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup
tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh
menceraikan isterinya. 1Korintus 7:11).
10.13 Ayat 36
secara pasti menggambarkan situasi yang sama dengan pandangan dalam ayat 27 dan
28, tapi jelas mengacu pada pasangan yang belum menikah. “Tetapi jikalau
seorang menyangka, bahwa ia tidak berlaku wajar terhadap gadisnya, jika
gadisnya itu telah bertambah tua dan ia benar-benar merasa, bahwa mereka harus
kawin, baiklah mereka kawin, kalau ia menghendakinya. Hal itu bukan dosa.” Ini
adalah sama dengan ayat 28 di mana Paulus berkata, " Tetapi, kalau engkau
kawin, engkau tidak berdosa."
10.14
Pertanyaan dalam ayat 27 Adakah engkau ‘terikat dengan seorang perempuan’
mungkin sedikit menyesatkan karena dapat mengindikasikan bahwa yang dimaksud
engkau di sini adalah pria yang sudah menikah. Namun dalam bahasa Yunani kata
yang digunakan untuk ‘perempuan’ hanya dapat merujuk kepada tunangannya atau
pasangan yang akan dinikahinya. Konteksnya menyatakan bahwa bagian ini menunjuk
tentang ‘para gadis’ yang telah bertunangan, bukan pada para istri. Jadi kata
"terikat" dan "yang dilepaskan" harus mengacu apakah
seseorang sudah bertunangan atau tidak.
10.15 Hal ini
penting bahwa kata kerja Paulus menggunakan untuk "dilepaskan" (luo)
atau "bebas" bukanlah kata yang ia gunakan untuk perceraian.
Kata-kata yang digunakan Paulus untuk perceraian adalah chorizo (ayat 10,11,15;
lihat Matius 19: 6) dan aphienai (ayat 11,12,13) .
Bersambung.
--------
Posting ini merupakan terjemahan dari sebagian besar
artikel tulisan John Piper* yang berjudul: Eleven Reasons Why I
Believe All Remarriage After Divorce Is Prohibited While Both Spouses Are Alive
*John Piper (@JohnPiper) adalah pendiri dan guru
desiringGod.org dan konselir dari Bethlehem College & Seminary. Selama 33
tahun, ia menjabat sebagai Pendeta dari Gereja Baptis Betlehem, Minneapolis,
Minnesota. Dia adalah penulis lebih dari 50 buku, termasuk salah satunya yang
berjudul A Peculiar Glory.
Hargailah sebuah pernikahan.. Jangan mudah untuk bercerai, kasian tu anak orang jadi janda...
BalasHapus