"Demi
didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke
rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah
Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti
yang biasa dilakukannya."
Daniel 6:11
Pernahkah anda berdoa ketika anda sedang sangat putus asa, kecewa atau ketakutan? Begitu putus asa dan dalamnya kekecewaan
/ ketakutan itu seakan-akan anda sedang berada dalam suatu lembah atau lubang keklaman yang
gelap dan dalam. Saya pernah mengalami hal itu baru-baru ini. Dan ketika itu, disamping
merasa putus asa dan kecewa, saya juga merasa lapar.
Perasaan putus asa dan kecewa begitu mempengaruhi saya, tetapi kedua hal ini berada di luar kendali saya, dan ini membuat saya ingin mencari kenyamanan yang dapat saya kendalikan, yaitu makan. Sehingga saya makan dan makan. Bagi beberapa orang, makan ketika sedang putus asa dan sedang mengalami kekecewaan berat sepertinya merupakan cara mudah untuk mendapatkan kenyamanan.
Namun dalam situasi ini, apa yang terasa menghibur di mulut, tidak mengurangi rasa putus asa dan kekecewaan hati saya.
Perasaan putus asa dan kecewa begitu mempengaruhi saya, tetapi kedua hal ini berada di luar kendali saya, dan ini membuat saya ingin mencari kenyamanan yang dapat saya kendalikan, yaitu makan. Sehingga saya makan dan makan. Bagi beberapa orang, makan ketika sedang putus asa dan sedang mengalami kekecewaan berat sepertinya merupakan cara mudah untuk mendapatkan kenyamanan.
Namun dalam situasi ini, apa yang terasa menghibur di mulut, tidak mengurangi rasa putus asa dan kekecewaan hati saya.
Aku akan berdoa seperti Daniel. |
Akhirnya terlalu banyak makan malah membuat saya merasa bersalah. Kemudian rasa
bersalah karena terlalu banyak makan ini hanya menambah beratnya keputus asaan
dan kekecewaan saya.
Jadi jelas
dalam hal ini, makan bukanlah cara yang baik untuk mengatasi permasalahan yang
saya alami. Kalaupun saya benar-benar lapar, seharusnya saya dapat memilih
untuk memakan makanan sehat dan bukan asal makan sebagai pelarian dari
permasalahan.
Lalu bagaimana cara mengatasi putus asa atau kekecewaan?
Bagaimana caranya untuk dapat keluar dari lubang/ lembah keputus asaan?
Ketika saya menyadari bahwa
melarikan diri dari kesesakan dengan makan berlebihan tidak memberikan kelegaan
yang saya cari. Saya mulai mencoba untuk belajar bersyukur dan mulai memuji
Tuhan. Awalnya memang tidak terasa seperti memuji Tuhan, mungkin karena saya masih berada di
dasar lembah kekecewaan saya. Namun ketika saya terus mengucap
syukur, sesuatu yang mulai
bergeser dalam hati saya dan perubahan terjadi dalam
sikap saya ketika saya mulai
dapat melihat berkat-berkat di tengah-tengah beban yang saya alami. Setiap saya bersyukur akan suatu hal, itu
menjadi seperti sebuah batu loncatan untuk keluar dari dasar lembah kekelaman.
Saya yakin banyak dari kita juga pernah mengalami hal semacam ini. Di
dalam Alkitab kitapun dapat melihat apa yang terjadi ketika Daniel sedang mengalami masalah yang berat.
Dalam Daniel 6:11, Daniel baru saja mendengar bahwa jika ada orang yang tertangkap sedang berdoa (menyembah) kepada siapapun selain menyembah Raja Darius, maka mereka akan dilemparkan ke lubang singa. Kandang singa berisi singa-singa lapar adalah sebuah lubang mengerikan bagi orang-orang hukuman pada saat itu! Tapi reaksi Daniel pada saat itu benar-benar menakjubkan.
Dia pulang ke rumah, membuka jendela, dan berdoa seperti biasa. Jelas dia melakukan hal ini bukan karena ia merasa baik. Sebaliknya, dia sedang diperhadapkan pada bahaya. Namun, dia tetap tunduk kepada Allah dengan tetap berdoa dan hanya menyembah Allah saja.
Kita mungkin mengira bahwa doanya kira-kira akan berbunyi seperti ini :
Dalam Daniel 6:11, Daniel baru saja mendengar bahwa jika ada orang yang tertangkap sedang berdoa (menyembah) kepada siapapun selain menyembah Raja Darius, maka mereka akan dilemparkan ke lubang singa. Kandang singa berisi singa-singa lapar adalah sebuah lubang mengerikan bagi orang-orang hukuman pada saat itu! Tapi reaksi Daniel pada saat itu benar-benar menakjubkan.
Dia pulang ke rumah, membuka jendela, dan berdoa seperti biasa. Jelas dia melakukan hal ini bukan karena ia merasa baik. Sebaliknya, dia sedang diperhadapkan pada bahaya. Namun, dia tetap tunduk kepada Allah dengan tetap berdoa dan hanya menyembah Allah saja.
Kita mungkin mengira bahwa doanya kira-kira akan berbunyi seperti ini :
“Tuhan, aku
takut, tolong selamatkan aku!"
"Tuhan, ini sungguh tidak adil Bukankah aku setia padaMu selama ini!"
"Tuhan, hal ini terlalu berat untuk aku tanggung!"
"Tuhan, tolong hancurkan musuh-musuhku dan musnahkan mereka!"
"Tuhan, aku tidak dapat mengatasi permasalahan ini tanpa makan enak, tanpa fasilitas yang tepat, tolong sediakan semua itu karena aku membutuhkannya!"
Tetapi ternyata tidak demikian! Doa Daniel ketika itu sungguh berbeda dengan doa-doa egois manusia pada umumnya.
Apa yang Daniel doakan ketika itu sungguh merupakan pelajaran yang kuat bagi saya.
Daniel 6:11b mengatakan bahwa Daniel “berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya."
Reaksi Daniel terhadap keadaan pada saat itu begitu kebalikan dari reaksi kebanyakan dari kita ketika diperhadapkan pada situasi yang sama, hal ini menjadi suatu teguran dan membuat saya merenungkannya. Reaksi awal kita terhadap sesuatu biasanya merupakan hasil kebiasaan dalam hidup kita. Daniel telah membuat ‘berlutut, berdoa memuji Allahnya’ sebagai kebiasaan hidupnya.
Karena Daniel adalah orang yang terbiasa bersyukur, maka ‘hakekat Allah dan bagaimana Allah mampu menyediakan’ merupakan arah dan inti dalam hati dan kehidupannya-bahkan ketika Daniel berada di tengah-tengah situasi tak terkendali sekalipun.
Saya begitu tertantang dan terinspirasi oleh reaksi Daniel. Kehidupan doa Daniel membuat saya mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada diri saya: Kemana saya lari ketika tekanan hidup menghimpit saya? Apakah atau siapakah yang saya andalkan dalam kehidupan saya? Apakah saya memiliki kebiasaan memegangi rasa bersalah dalam pergumulan hidup saya? Apakah yang mungkin terjadi jika saya berhenti melarikan diri pada kenyamanan semu dan mulai mengubah cara pandang saya dengan mulai menerapkan sikap / kebiasaan mengucap syukur?
Hidup akan penuh ‘lubang/lembah’ kekecewaan, kesulitan, kepahitan, tantangan, kesedihan dan lain-lain. Tetapi tidak berarti bahwa kita harus menjadi penghuni ‘lubang/lembah’ kekelaman itu atau berjuang sendiri mengandalkan kekuatan kita sendiri yang jelas sangat terbatas. Kita lemah dan terbatas, tetapi Tuhan kuat dan tidak terbatas. Kita tak mampu, tetapi Tuhan mampu. Marilah kita meneladani Daniel, melatih diri dengan mebiasakan diri kita untuk selalu mengucap syukur dalam segala situasi dan kondisi. Mempersilahkan Tuhan, sebagai pusat dan Penguasa hidup kita, untuk mengarahkan hidup kita hanya kepadaNya.
"Tuhan, ini sungguh tidak adil Bukankah aku setia padaMu selama ini!"
"Tuhan, hal ini terlalu berat untuk aku tanggung!"
"Tuhan, tolong hancurkan musuh-musuhku dan musnahkan mereka!"
"Tuhan, aku tidak dapat mengatasi permasalahan ini tanpa makan enak, tanpa fasilitas yang tepat, tolong sediakan semua itu karena aku membutuhkannya!"
Tetapi ternyata tidak demikian! Doa Daniel ketika itu sungguh berbeda dengan doa-doa egois manusia pada umumnya.
Apa yang Daniel doakan ketika itu sungguh merupakan pelajaran yang kuat bagi saya.
Daniel 6:11b mengatakan bahwa Daniel “berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya."
Reaksi Daniel terhadap keadaan pada saat itu begitu kebalikan dari reaksi kebanyakan dari kita ketika diperhadapkan pada situasi yang sama, hal ini menjadi suatu teguran dan membuat saya merenungkannya. Reaksi awal kita terhadap sesuatu biasanya merupakan hasil kebiasaan dalam hidup kita. Daniel telah membuat ‘berlutut, berdoa memuji Allahnya’ sebagai kebiasaan hidupnya.
Karena Daniel adalah orang yang terbiasa bersyukur, maka ‘hakekat Allah dan bagaimana Allah mampu menyediakan’ merupakan arah dan inti dalam hati dan kehidupannya-bahkan ketika Daniel berada di tengah-tengah situasi tak terkendali sekalipun.
Saya begitu tertantang dan terinspirasi oleh reaksi Daniel. Kehidupan doa Daniel membuat saya mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada diri saya: Kemana saya lari ketika tekanan hidup menghimpit saya? Apakah atau siapakah yang saya andalkan dalam kehidupan saya? Apakah saya memiliki kebiasaan memegangi rasa bersalah dalam pergumulan hidup saya? Apakah yang mungkin terjadi jika saya berhenti melarikan diri pada kenyamanan semu dan mulai mengubah cara pandang saya dengan mulai menerapkan sikap / kebiasaan mengucap syukur?
Hidup akan penuh ‘lubang/lembah’ kekecewaan, kesulitan, kepahitan, tantangan, kesedihan dan lain-lain. Tetapi tidak berarti bahwa kita harus menjadi penghuni ‘lubang/lembah’ kekelaman itu atau berjuang sendiri mengandalkan kekuatan kita sendiri yang jelas sangat terbatas. Kita lemah dan terbatas, tetapi Tuhan kuat dan tidak terbatas. Kita tak mampu, tetapi Tuhan mampu. Marilah kita meneladani Daniel, melatih diri dengan mebiasakan diri kita untuk selalu mengucap syukur dalam segala situasi dan kondisi. Mempersilahkan Tuhan, sebagai pusat dan Penguasa hidup kita, untuk mengarahkan hidup kita hanya kepadaNya.
Mari berdoa seperti ini:
Ya Tuhan, saya tahu bahwa kadang-kadang dalam
kehidupan ini saya akan menemukan diri berada dalam lembah/lubang kekelaman,
keputus asaan, kepahitan dan kekecewaan. Namun saya tidak harus tetap tinggal
dan saya tidak perlu berjuang sendiri untuk keluar dari kekelaman itu. Terima
kasih, Tuhan, Engkau telah menyediakan Firman abadi untuk menyatakan jalan,
kebenaran dan hidup bagi saya. Dalam Nama Tuhan
Yesus, Amin.
Sumber : What did Daniel pray? oleh Lysa TerKeurst untuk proverbs31.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar