Posting ini merupakan sambungan dari bagian 1
Daniel berlutut ketika berdoa.
Jika kita memiliki
waktu, berlututlah. Mari kita menekuk lutut kita di hadapan tahta keagungan
Allah yang maha tinggi, dan menunjukkan rasa hormat kita terhadap-Nya. Namun betapapun
besarnya berkat-berkat yang telah Dia berikan kepada kita, kita masih makhluk lemah
yang sering gagal untuk sungguh-sungguh dapat bertekuk lutut di hadapanNya. Ini bukan sekedar sikap
tubuh, namun lebih kepada sikap hati kita. Penyerahan dan ketundukan yang murni
dan total dari hati, jiwa dan pikiran kita kepada seluruh kuasa dan kehendak
Allah. ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.“ Matius 22:37) Betapa kita telah diberikan hak istimewa ketika kita dimampukan untuk dapat sungguh-sungguh bertekuk lutut di hadapanNya, karena hal ini menunjukkan
bahwa kita mengakui otoritas,
keagungan, kebesaran, dan
kemuliaan Allah.
Baru–baru ini saja saya mendapat kehormatan untuk berada di Jerman dan Belanda dan sungguh suatu pemandangan luar biasa ketika saya menyaksikan 900 saudara-saudari berlutut ketika tiba waktunya untuk berdoa. Hal itu sungguh menyentuh hati saya. Hal ini merupakan bukti bagaimana banyak individu dapat berkumpul untuk bersama-sama berdoa secara kolektif ketika situasinya sesuai /memungkinkan. C.H.Mackintosh merasa bahwa tidak berlutut merupakan indikasi ketidaksopanan jika kita tidak berlutut ketika kita diberikan kesempatan untuk melakukannya, bahwa hal ini menunjukkan sikap terlalu santai di hadapan kemuliaan hadirat Allah yang maha besar dan yang jauh melampaui kita.
Baru–baru ini saja saya mendapat kehormatan untuk berada di Jerman dan Belanda dan sungguh suatu pemandangan luar biasa ketika saya menyaksikan 900 saudara-saudari berlutut ketika tiba waktunya untuk berdoa. Hal itu sungguh menyentuh hati saya. Hal ini merupakan bukti bagaimana banyak individu dapat berkumpul untuk bersama-sama berdoa secara kolektif ketika situasinya sesuai /memungkinkan. C.H.Mackintosh merasa bahwa tidak berlutut merupakan indikasi ketidaksopanan jika kita tidak berlutut ketika kita diberikan kesempatan untuk melakukannya, bahwa hal ini menunjukkan sikap terlalu santai di hadapan kemuliaan hadirat Allah yang maha besar dan yang jauh melampaui kita.
Berlutut ketika berdoa adalah tindakan fisik yang menunjukkan pengakuan atas kekuasaan
dan kebesaran Allah yang kekal. Apakah Anda pernah merasa terdorong untuk berlutut?
Saya tidak memaksudkan agar anda berlutut karena terpaksa, melainkan terdorong
karena anda merasa berlutut adalah hal yang benar untuk dilakukan. Mungkin kita dapat
mulai berdoa dengan sikap santai sebagai awal, namun berlututlah jika Roh Kudus
mengarahkan kita untuk berlutut di hadapanNya sebagai pengakuan atas kuasaNya.
Kita memiliki teladan yang luar biasa, yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri, seperti yang kita lihat ketika Dia berlutut di taman Getsemani. Yesus berlutut ketika beratnya penyaliban yang harus ditanggungNya sedang makin mendekati, Ia berlutut dalam pergumulanNya dan berdoa. (“Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya: Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi. Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” Lukas 22:41). Paulus ( “Sesudah mengucapkan kata-kata itu Paulus berlutut dan berdoa bersama-sama dengan mereka semua.” Kisah Para Rasul 20:36), Salomo (“--karena Salomo telah membuat sebuah mimbar tembaga yang panjangnya lima hasta, lebarnya lima hasta dan tingginya tiga hasta, yang ditaruhnya di halaman--;ia berdiri di atasnya lalu berlutut di hadapan segenap jemaah Israel dan menadahkan tangannya ke langit.” 2Tawarikh 6:13), Ezra (“Pada waktu korban petang bangkitlah aku dan berhenti menyiksa diriku, lalu aku berlutut dengan pakaianku dan jubahku yang koyak-koyak sambil menadahkan tanganku kepada TUHAN, Allahku,” Ezra 9:5) dan banyak lagi lainnya yang berlutut untuk berdoa di hadapan Tuhan.
Daniel berlutut tiga kali sehari untuk berdoa dan bersyukur.
Daniel adalah seorang
tawanan, tidak memiliki kebebasan. Dia mungkin memiliki posisi yang baik, namun
ia tidak memiliki hak istimewa untuk kembali ke negaranya dan kepada orang-orang
sebangsanya. Dia melakukan segala sesuatu yang dilakukan warga Babel, tetapi
Daniel tetap masih berdoa dan mengucap syukur, mengakui situasi yang sedang ia dan
umat Israel hadapi sebagai penghakiman
Allah yang suci, ia tetap bersyukur bahwa ia masih dapat menikmati persekutuan yang
indah dengan Tuhan. Kehidupan doa Daniel ini adalah pelajaran luar biasa yang patut kita teladani.
Saya bertanya pada diri sendiri dan juga pada anda, apakah kita telah menyediakan waktu yang cukup dalam berdoa?
Saya bertanya pada diri sendiri dan juga pada anda, apakah kita telah menyediakan waktu yang cukup dalam berdoa?
Semoga teladan Daniel dapat menstimulasi kita secara pribadi, di rumah kita dan dalam persekutuan-persekutuan doa agar kita semakin giat untuk menyediakan waktu bagi Tuhan dengan berdoa dan menekuni FirmanNya.
Sumber : The Continual, Settled, Individual Prayer Life of Daniel oleh Frank Wallace untuk Biblecentre.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar