Kita harus mengetahui kitab-kitab mana yang termasuk dalam Alkitab dan kitab-kitab mana yang tidak termasuk dalam Alkitab.
Alkitab yang kita akui terdiri dari 66
kitab, yaitu 39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab Perjanjian Baru,
dan hanya kitab-kitab ini yang boleh dijadikan dasar ajaran / kepercayaan.
a) Kanon Perjanjian Lama.
Tentang kanon Perjanjian Lama tidak ada persoalan, karena pada jaman Yesus
hidup di dunia ini, kanon Perjanjian Lama itu sudah lengkap, dan Yesus tidak
mengubahnya sehingga dianggap sebagai menyetujuinya.
Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini :
‘Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible’: “It is not possible to know
for certain how the Old Testament came together in the collection of books we
know now. But we do know which books made up the Old Testament in the period
just before the birth of Jesus, and we can know which books Jesus and his
apostles would have regarded as their ‘Bible’. ... It is clear that by the time
of Jesus the Hebrew Scriptures usually consisted of the thirty-nine books we
know today as the Old Testament”
(= Tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan
pasti bagaimana Perjanjian Lama bisa terkumpul bersama-sama dalam kumpulan
kitab-kitab yang kita ketahui sekarang. Tetapi kami tahu kitab-kitab mana yang
membentuk Perjanjian Lama pada jaman persis sebelum kelahiran Yesus, dan kami
tahu kitab-kitab mana yang dianggap oleh Yesus dan rasul-rasulNya sebagai
‘Alkitab’ mereka. ... Adalah jelas bahwa pada jaman Yesus Kitab Suci Ibrani
umumnya terdiri dari 39 kitab yang kita kenal sekarang sebagai Perjanjian Lama)
- hal 66.
Halley’s Bible Handbook: “In Jesus’ day this book was called ‘The
Scriptures,’ and was taught regularly and read publicly in synagogs. It was
commonly regarded among the people as the ‘Word of God.’ Jesus himself
repeatedly called it the ‘Word of God.’ ... These ‘Scriptures’ were composed of
the 39 books which constitute our Old Testament, though under a different
arrangement. ... when this group of books was completed, and set apart as the
definitely recognized Word of God, is involved in obscurity. The Jews’
tradition was that it was done by Ezra”
(= Pada jaman Yesus buku ini disebut
‘Kitab Suci’, dan diajarkan secara teratur dan dibacakan di depan umum dlm
sinagog-sinagog. Pada umumnya itu dianggap di antara umat / bangsa itu sebagai
‘Firman Allah’. Yesus sendiri berulangkali menyebutnya ‘Firman Allah’. ...
‘Kitab Suci’ ini terdiri dari 39 kitab yang membentuk Perjanjian Lama kita,
sekalipun dalam susunan yang berbeda. ... kapan kumpulan kitab-kitab ini
diselesaikan, dan dipisahkan sebagai Firman Allah yang diakui dengan pasti,
merupakan sesuatu yang kabur / tidak jelas. Tradisi Yahudi mengatakan bahwa itu
dilakukan oleh Ezra) - hal 405.
Halley’s Bible Handbook: “Josephus considered the Old Testament Canon as
fixed from the days of Artaxerxes, time of Ezra. Here are his words: ‘We have
but 22 books, containing the history of all time, books that are believed to be
divine. Of these, 5 belong to Moses, containing his laws and the tradition of
the origin of mankind down to the time of his death. From the death of Moses to
the reign of Artaxerxes the prophets who succeeded Moses wrote the history of
the events that occurred in their own time, in 13 books. The remaining 4 books
comprise hymns to God and precepts for the conduct of human life. From the days
of Artaxerxes to our own times every event had indeed been recorded; but these
recent records have not been deemed worthy of equal credit with those which
preceded them, on account of the failure of the exact succession of the
prophets. There is practical proof of the spirit in which we treat our
Scriptures; for, although so great an interval of time has now passed, not a
soul has ventured to add or to remove or to alter a syllable, and it is the
instinct of every Jew, from the day of his birth, to consider these Scriptures
as the teaching of God, and to abide by them, and, if need be, cheerfully to
lay down his life in their behalf.’”
(= Yosephus menganggap kanon Perjanjian
Lama sebagai tertentu dari jaman Artaxerxes, pada jaman Ezra. Inilah
kata-katanya: ‘Kami mempunyai hanya 22 kitab, berisi / memuat sejarah dari
semua jaman / waktu, kitab-kitab yang dipercaya sebagai ilahi. Dari kitab-kitab
ini, 5 adalah milik Musa, berisikan hukum-hukumnya dan tradisi tentang asal
mula dari umat manusia sampai saat kematiannya. Dari saat kematian Musa sampai
masa pemerintahan Artaxerxes, nabi-nabi yang menggantikan Musa menulis sejarah
dari kejadian-kejadian yang terjadi pada jaman mereka sendiri, dalam 13 kitab.
4 kitab yang tersisa terdiri dari nyanyian pujian bagi Allah dan
peraturan-peraturan untuk tingkah laku dari kehidupan manusia. Dari jaman
Artaxerxes sampai jaman kami setiap kejadian memang telah dicatat; tetapi
catatan-catatan yang terakhir ini tidak dianggap sama layaknya dengan
catatan-catatan yang lebih dulu, karena kegagalan dari penggantian / rangkaian
yang tepat / terperinci dari nabi-nabi. Ada bukti praktis dari semangat dengan
mana kami memperlakukan Kitab Suci kami; karena, sekalipun ada jangka waktu
yang begitu lama telah berlalu, tidak satu jiwapun yang berani menambahkan atau
membuang atau mengubah satu suku katapun, dan merupakan naluri dari setiap
orang Yahudi, sejak saat kelahirannya, untuk menganggap Kitab Suci ini sebagai
ajaran Allah, dan mentaatinya, dan jika diperlukan, dengan gembira menyerahkan
nyawanya, demi kepentingannya) - hal 405-406.
Halley’s Bible Handbook: “This testimony is of no small value. Josephus was
born A. D. 37 in Jerusalem, of priestly aristocracy. He received an extensive
education in Jewish and Greek culture. He was governor of Galilee and military
commander in the wars with Rome, and was present at the destruction of
Jerusalem. These words of Josephus are unquestionable testimony to the belief
of the Jewish nation of Jesus’ day as to what books comprised the Hebrew
Scriptures, and that that collection of books had been completed and fixed for
400 years preceding his time”
(= Kesaksian ini tidak kecil nilainya. Yosephus
dilahirkan pada tahun 37 M. di Yerusalem, dari keturunan imam. Ia menerima suatu pendidikan yang luas dalam
kebudayaan Yahudi dan Yunani. Ia adalah gubernur dari Galilea dan komandan
militer dalam perang dengan Roma, dan ia hadir pada saat penghancuran
Yerusalem. Kata-kata Yosephus ini merupakan kesaksian yang tidak diragukan
terhadap kepercayaan dari bangsa Yahudi dari jaman Yesus berkenaan dengan
kitab-kitab apa yang dicakup oleh Kitab Suci Ibrani, dan bahwa kumpulan
kitab-kitab itu telah diselesaikan / dilengkapi dan tetap / tertentu untuk 400
tahun sebelum jamannya) - hal 406.
Halley’s Bible Handbook: “The Hebrew Old
Testament contains exactly the same books as our English Old Testament, but in
different arrangement: ... By combining the 2 books each of Samuel, Kings and
Chronicles into one, and Ezra and Nehemiah into one, and the Twelve Minor
Prophets into one, these 24 books are the same as our 39. Josephus further
reduces the number to 22, to make it correspond to the Hebrew alphabet by
combining Ruth with Judges, and Lamentations with Jeremiah”
(= Perjanjian Lama
bahasa Ibrani terdiri dari kitab-kitab yang persis sama seperti Perjanjian Lama
bahasa Inggris kita, tetapi dalam susunan yang berbeda: ... Dengan
menggabungkan 2 kitab masing-masing dari Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menjadi
satu, dan Ezra dan Nehemia menjadi satu, dan dua belas nabi-nabi kecil menjadi
satu, 24 kitab-kitab ini sama seperti 39 kitab kita. Yosephus selanjutnya
mengurangi jumlah bilangan menjadi 22, untuk mencocokkannya / menyamakannya
dengan alfabet Ibrani, dengan menggabungkan Rut dengan Hakim-hakim, dan Ratapan
dengan Yeremia) - hal 26.
b) Kanon Perjanjian Baru.
Tentang kanon Perjanjian Baru, agak sukar untuk menentukannya dan melalui
proses yang cukup lama.
Perhatikan kutipan dibawah ini :
‘Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible’: “Although there is little
direct evidence from the earliest years, we have a good idea of how the New
Testament took on its present shape. The first gatherings of Christians
probably followed the practice of the Jewish synagogues and had regular
readings from the Old Testament during their meetings. Since they were
worshipping Jesus Christ, it was natural to them to add an account of some part
of his life and teaching. At first this may have been in the form of a
first-hand account from someone who had known Jesus during his lifetime. But
then, as the churches grew in numbers, and as the eye-witnesses began to die,
it became necessary to write these stories down. This was the way the four
Gospels (Matthew, Mark, Luke and John) came into being, and they obviously had
an important place in the worship and life of the early churches. Then the
apostles and other leaders had written a number of letters to various churches
and individuals. Since these often gave general guidance on Christian life and
beliefs, their usefulness for the whole church was soon recognized. Acts was
accepted because it continued the story from Luke’s Gospel. It preserved the
only full account of the beginnings of Christianity. We know that by the year
AD 200 the church was officially using the four Gospels - and no others,
although fictitious tales about Jesus and writings by other Christian leaders
who came after the apostles were in circulation. But the mainstream church
clearly accepted only the Gospels of Matthew, Mark, Luke and John as their
authority for the life and teaching of Jesus. By this time, too, Paul’s letters
were generally accepted as of equal importance with the Gospels. It was only
later that the remaining books of the New Testament became generally accepted.
Revelation, for example, was certainly read in the second century. But not
until the third century was it circulating widely. Hebrews was read towards the
end of the first century, but took longer to become accepted in the Western
churches. It was not generally acknowledged by the church in the West until the
fourth century, partly because of doubts as to whether Paul wrote it. It took
longer, too, for 2Peter, 2 and 3 John, James and Jude to be accepted by the
church as basic Scripture. Perhaps this was because of questions about the
content of these books. The New Testament books were mainly used at first for
public reading. If they were unsuitable for this purpose, their usefulness must
have seemed limited. It is clear that no church council arbitrarily decided
that certain books composed the New Testament. Rather, over a period of time,
the church discovered that certain writings had a clear and general authority,
and were helpful and necessary for their growth. At the Council of Laodicea (AD
363) and the Council of Carthage (AD 397) the bishops agreed on a list of books
identical to our New Testament, except that at Laodicea Revelation was left
out”
[= Sekalipun hanya ada sedikit bukti langsung dari tahun-tahun yang paling
awal, kita mempunyai gagasan yang baik tentang bagaimana Perjanjian Baru
mendapatkan bentuknya yang sekarang ini. Pertemuan (kebaktian) mula-mula oleh
orang-orang Kristen mungkin mengikuti praktek dari sinagog-sinagog Yahudi dan
mempunyai pembacaan biasa / teratur dari Perjanjian Lama dalam pertemuan /
kebaktian mereka. Karena mereka menyembah Yesus Kristus, maka adalah wajar bagi
mereka untuk menambahkan suatu cerita tentang beberapa bagian dari kehidupan
dan ajaranNya. Mula-mula ini mungkin ada dalam bentuk cerita tangan pertama
dari orang yang telah mengenal Yesus selama masa hidupNya. Tetapi lalu, karena
gereja bertumbuh dalam jumlah, dan karena para saksi mata itu mati, maka
menjadi perlu untuk menuliskan cerita-cerita itu. Inilah yang menyebabkan
adanya keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), dan keempat Injil
ini jelas mendapatkan tempat yang penting dalam penyembahan dan kehidupan dari
gereja-gereja mula-mula. Lalu rasul-rasul dan pemimpin-pemimpin menulis
sejumlah surat kepada berbagai-bagai gereja dan individu. Karena surat-surat
ini sering memberikan bimbingan umum tentang kehidupan dan kepercayaan Kristen,
kegunaan surat-surat ini untuk seluruh gereja segera diakui. Kitab Kisah Rasul
diterima karena kitab itu melanjutkan cerita dari Injil Lukas. Kitab ini
memelihara satu-satunya cerita lengkap tentang permulaan kekristenan. Kita tahu
bahwa pada tahun 200 M. gereja secara resmi menggunakan 4 Injil - dan tidak ada
yang lain, sekalipun cerita-cerita fiksi tentang Yesus dan tulisan-tulisan dari
pemimpin-pemimpin Kristen lain, yang datang setelah rasul-rasul, ada dalam
peredaran. Tetapi aliran utama gereja secara jelas menerima hanya Injil-injil
Matius, Markus, Lukas dan Yohanes sebagai otoritas mereka untuk kehidupan dan
ajaran Yesus. Pada saat ini, juga, surat-surat Paulus secara umum diterima dan
dianggap sama pentingnya dengan Injil-injil tersebut. Baru belakangan maka sisa
kitab-kitab dari Perjanjian Baru diterima secara umum. Kitab Wahyu, misalnya,
pasti dibaca pada abad kedua. Tetapi baru pada abad ketiga kitab ini beredar
secara luas. Surat Ibrani dibaca pada akhir abad pertama, tetapi membutuhkan
waktu lebih lama untuk diterima dalam gereja-gereja Barat. Surat Ibrani ini
tidak diakui secara umum oleh gereja di Barat sampai abad keempat, sebagian
disebabkan karena keraguan apakah Paulus menulisnya atau tidak. Juga 2Petrus, 2
dan 3 Yohanes, Yakobus, dan Yudas, membutuhkan waktu lebih lama untuk diterima
oleh gereja sebagai Kitab Suci dasar. Mungkin ini disebabkan karena
pertanyaan-pertanyaan tentang isi dari kitab-kitab ini. Kitab-kitab Perjanjian
Baru mula-mula digunakan pada umumnya untuk pembacaan di depan umum. Jika mereka tidak cocok untuk tujuan ini,
kebergunaan mereka pasti kelihatan terbatas. Adalah jelas bahwa tidak ada
sidang gereja yang memutuskan secara mutlak bahwa kitab-kitab tertentu
membentuk Perjanjian Baru. Tetapi sebaliknya, dalam jangka waktu tertentu,
gereja mendapatkan bahwa tulisan-tulisan tertentu mempunyai otoritas yang jelas
dan umum, dan membantu dan penting untuk pertumbuhan mereka. Pada sidang gereja
Laodikia (tahun 363 M.) dan sidang gereja Carthage (tahun 397 M.) para uskup
menyetujui suatu daftar kitab-kitab yang identik dengan Perjanjian Baru kita
kecuali bahwa pada sidang gereja Laodikia kitab Wahyu dihapuskan / tidak
dipertimbangkan] - hal 68.
Catatan: sekalipun kelihatannya penentuan kanon Perjanjian Baru agak meragukan
dan boleh dikatakan bersifat subyektif, tetapi perlu diingat bahwa Tuhan, yang
adalah pengarang sesungguhnya dari Kitab Suci, pasti memimpin gereja dalam
proses kanonisasi Perjanjian Baru tersebut.
Sumber : Hermeneutics oleh Pdt. Budi Asali, M.Div.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar