Posting sebelumnya membahas tentang apa pandangan Alkitab tentang perceraian,
"Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel." Maleakhi 2:16
Perceraian di Alkitab diperbolehkan hanya akibat dosa manusia. Karena perceraian adalah suatu kompromi yang terpaksa diijinkan akibat dosa manusia dan bukan merupakan bagian dari rencana semula Allah untuk pernikahan, semua orang percaya/orang beriman/orang Kristen harus membenci perceraian sebagaimana Allah membencinya dan perceraian hanya dilakukan ketika tidak ada lagi jalan lain untuk menyelamatkan suatu pernikahan.
Bahasan kali ini adalah tentang kemungkinan untuk menikah lagi. Apakah pandangan Alkitab tentang hal ini?
Ada beberapa pandangan berbeda tentang hal ini, berikut pandangan pertama : (baca juga pandangan kedua : 11 Alasan Dilarang Menikah Lagi Setelah Bercerai)
Menikah lagi diizinkan untuk pasangan yang setia hanya jika perceraian dilakukan
atas dasar Alkitab (lihat dasar perceraian dalam posting sebelumnya). Bahkan, sesungguhnya tujuan perceraian berdasarkan Alkitab
adalah untuk memperjelas bahwa pasangan yang setia itu bebas untuk dapat menikah
lagi, tetapi hanya pernikahan di dalam Tuhan / pasangan barunya haruslah
seorang yang percaya (Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:39).
- Karena perceraian hanyalah suatu konsesi /kompromi atas dosa manusia dan bukan bagian dari rencana Allah yang semula bagi pernikahan, semua orang percaya/beriman/Kristen harus membenci perceraian sebagaimana Allah membenci perceraian ...
Mereka yang bercerai dengan alasan apapun lainnya (selain dasar perceraian dalam Alkitab) telah berdosa terhadap Allah
dan pasangan mereka, dan bagi mereka, untuk menikah lagi adalah tindakan
"perzinahan" (Markus 10:11-12). Inilah sebabnya mengapa Paulus
mengatakan bahwa seorang wanita Kristen yang melakukan perceraian secara berdosa harus
"tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya" (1
Korintus 7: 10-11). Jika dia bertobat dari dosa perceraian yang tidak
Alkitabiah itu, maka buah dari pertobatannya yang sejati seharusnya adalah dengan berdamai dengan mantan suaminya (Matius 5:23-24). Hal
yang sama berlaku untuk seorang pria Kristen yang menceraikan isterinya secara
tidak Alkitabiah (1 Korintus 7:11). Satu-satunya kondisi di mana pria tersebut dapat
menikah lagi adalah apabila mantan pasangannya telah menikah lagi, terbukti adalah
seorang kafir/tidak beriman/bukan Kristen, atau telah meninggal, di mana kemungkinan bagi pria ini untuk dapat berdamai dengan mantan isterinya tidak mungkin
lagi dapat dilakukan.
Alkitab juga memberikan kata-kata peringatan kepada siapa saja yang sedang
mempertimbangkan untuk menikah dengan seorang janda/duda. Jika perceraian itu
tidak atas dasar Alkitab dan masih ada tanggung jawab untuk berdamai, maka orang
yang bermaksud menikahi janda/duda tersebut termasuk seorang pezinah (Markus
10:12).
Peranan Gereja
Orang-orang Kristen yang mengejar perceraian dengan alasan yang tidak Alkitabiah dapat dikenakan disiplin gereja karena mereka secara terbuka telah menentang Firman Allah. Orang yang bercerai secara tidak Alkitabiah dan menikah lagi berarti melakukan dosa perzinahan, karena pada mulanya Tuhan tidak mengizinkan perceraian (Matius 5:32 “Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”; Markus 10:11-12 "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.").
Orang yang melakukan dosa perzinahan seperti ini harus tunduk pada langkah-langkah disiplin gereja seperti yang diuraikan dalam Matius 18:15-17. Jika seorang Kristen yang telah melanggar perjanjian pernikahan itu menolak untuk bertobat selama proses disiplin gereja, Alkitab memerintahkan bahwa pria atau wanita yang seperti ini harus dikeluarkan/dikucilkan dari gereja dan diperlakukan sebagai orang yang tidak beriman (ay. 17). Apabila dalam proses disiplin gereja pasangan yang tidak taat itu dikeluarkan dari gereja karena tetap menolak untuk bertobat dan diperlakukan sebagai orang kafir (dikucilkan), maka mantan pasangannya yang setia akan bebas untuk bercerai sesuai ketentuan cerai seperti dalam kasus jika seorang yang ditinggalkan oleh pasangannya yang kafir, sebagaimana dinyatakan dalam 1Korintus 7:15. Namun, sebelum perceraian itu dilakukan, harus disediakan waktu yang wajar akan kemungkinan pasangannya yang tidak setia itu untuk kembali berdamai karena bertobat.
Pemimpin
dalam gereja setempat juga harus membantu orang-orang percaya yang
telah bercerai untuk memahami situasi mereka secara Alkitabiah, terutama dalam
kasus di mana penerapan yang sesuai dengan ajaran Alkitab tampak tidak jelas.
Misalnya, pimpinan gereja mungkin perlu waktu untuk secara bertahap memutuskan apakah
salah satu atau kedua mantan pasangan tersebut adalah sungguh-sungguh orang percaya ketika mereka bercerai di masa lalu, karena ini akan
mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip Alkitab dengan situasi mereka saat ini
(1Korintus 7:17-24).
Juga, karena
orang sering berpindah-pindah ke atau dari gereja-gereja lain dan banyak dari
gereja-gereja tidak mempraktekkan disiplin gereja, mungkin para pemimpin gereja
perlu untuk memutuskan apakah
seorang jemaat atau mantan
pasangan jemaat gerejanya itu adalah seorang
Kristen sejati ataukah sedang dikucilkan
oleh disiplin gereja karena terus menerus melakukan ketidaktaatan.
Sekali lagi, dalam beberapa kasus ini akan mempengaruhi penerapan
prinsip-prinsip Alkitabiah (1Korintus 7:15; 2Korintus 6:14).
Sumber : Divorce & Remarriage oleh Pastor John MacArthur - GraceChurch.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar