Pro dan Kontra Perayaan Natal_Bagian 3

 
Bagian 3

Lanjutan dari bagian 2

5)      Natal berasal dari kekafiran.

Kutipan dari internet:

  1. “Catatan-catatan sejarah di dalam Ensiklopedia, yang bisa kita dapatkan di perpustakaan-perpustakaan, dan yang dapat dipercaya, memberikan fakta-fakta ini: bahwa Natal berasal dari bangsa kafir. Jika ditelusuri, Natal merupakan kepanjangan dari penyembah-penyembah matahari di antara bangsa-bangsa kafir. Banyak hari kelahiran dari para pemimpin kafir dirayakan oleh bangsa Babilonia. Semua perayaan penyembahan berhala ini berasal dari bangsa kafir. Kata Christmas (Natal) berarti Misa Kristus. Kata ini kemudian disingkat menjadi Christ-Mass; dan akhirnya menjadi Christmas. Kita kenal misa ini sebagai Misa Roma Katolik. Tetapi dari mana mereka mendapatkannya? Oleh karena kita mengenalnya lewat Gereja Roma Katolik, dan tidak ada wewenang selain Gereja Roma Katolik, marilah kita selidiki Ensiklopedia Katolik, yang diterbitkan oleh denominasi ini. Di bawah judul Christmas (Natal) engkau akan menemukan kata-kata ini: Natal tidak terdapat pada perayaan-perayaan Gereja jaman dahulu … Bukti awal dari perayaan ini adalah dari Mesir. Adat kebiasaan dari para penyembah berhala yang berlangsung sekitar bulan Januari ini kemudian dijadikan Natal. ... ENSIKLOPEDIA AMERICANA, edisi 1969, berkata: Natal, nama ini berasal dari bahasa Inggris kuno Chrites Maesse dan ejaan sekarang ini nampaknya mulai digunakan pada sekitar abad ke 16. Semua gereja Kristen kecuali gereja Armenia merayakan hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember. Tanggal ini tidak dikenal di negeri Barat sampai kira-kira pertengahan abad ke 4 dan di Timur sampai kira-kira seabad kemudian”.
  2. “Mengikuti CARA-CARA ORANG KAFIR bukanlah persoalan mengenai mana yang harus kita lakukan atau mana yang tidak boleh kita lakukan menurut pemikiran kita sendiri. Di dalam 1 Raja-raja 11:4-11 Allah menghukum raja Salomo untuk hal yang satu ini. Allah merobek Kerajaannya darinya”. Penyamaan dengan Salomo, yang memang mendukung penyembahan berhala ini merupakan kegilaan yang tidak perlu ditanggapi. 
  3. “Tradisi ini mungkin berasal dari perayaan Saturnalia, di mana para budak menjadi sejajar dengan tuannya. Membakar kayu Natal dimasukkan menjadi adat orang Inggris yang asalnya dari adat orang Skandinavia tatkala mereka menghormati titik balik matahari pada musim dingin”.
  4. “Asal mula Natal. Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas, tetapi seperti yang dipercayai tanggal ini dipilih untuk menyesuaikan dengan perayaan penyembahan berhala yang berlangsung pada musim dingin waktu terjadi titik balik matahari, yaitu ketika siang hari mulai panjang, untuk merayakan lahirnya kembali sang matahari. Suku-suku bangsa Eropa Utara merayakan Natal mereka pada musim dingin waktu titik balik matahari untuk merayakan kelahiran kembali sang matahari (dewa) sebagai yang memberikan terang dan kehangatan. Saturnalia Romawi (perayaan yang dipersembahkan kepada Saturnus, dewa pertanian) juga berlangsung pada waktu tersebut, dan beberapa adat Natal diperkirakan berakar pada perayaan penyembahan berhala ini. Perayaan ini diadakan oleh beberapa orang terpelajar bahwa kelahiran Kristus sebagai Terang Dunia dianalogikan dengan kelahiran kembali sang matahari agar supaya kekristenan menjadi lebih berarti bagi para petobat baru yang dulunya menyembah matahari”.

Tanggapan:


a)   Penulis internet yang bodoh ini berbicara dengan lidah bercabang.
Perhatikan bagian-bagian yang saya garis bawahi dari kutipan pertama, ketiga dan keempat. Dalam kutipan pertama dia mengatakan bahwa hal itu (bahwa Natal berasal dari kekafiran) ‘dapat dipercaya’. Tetapi dalam kutipan ketiga ia mengatakan ‘mungkin’, dan dalam kutipan keempat ia mengatakan ‘Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas’ dan pada bagian akhir ia menggunakan kata ‘diperkirakan’. Yang mana yang benar?



b)   Asal usul Natal dari kekafiran bukanlah merupakan sesuatu yang pasti.
Di sini saya memberikan informasi dari Encyclopedia Britannica tentang sejarah Natal, juga tentang kata ‘Christmas’, dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya.

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’:

“from Old English Cristes maesse, ‘Christ’s mass’), Christian festival celebrated on December 25, commemorating the birth of Jesus Christ. It is also a popular secular holiday. According to a Roman almanac, the Christian festival of Christmas was celebrated in Rome by AD 336. In the eastern part of the Roman Empire, however, a festival on January 6 commemorated the manifestation of God in both the birth and the baptism of Jesus, except in Jerusalem, where only the birth was celebrated. During the 4th century the celebration of Christ’s birth on December 25 was gradually adopted by most Eastern churches. In Jerusalem, opposition to Christmas lasted longer, but it was subsequently accepted. In the Armenian Church, a Christmas on December 25 was never accepted; Christ’s birth is celebrated on January 6. After Christmas was established in the East, the baptism of Jesus was celebrated on Epiphany, January 6. In the West, however, Epiphany was the day on which the visit of the Magi to the infant Jesus was celebrated. The reason why Christmas came to be celebrated on December 25 remains uncertain, but most probably the reason is that early Christians wished the date to coincide with the pagan Roman festival marking the ‘birthday of the unconquered sun’ (natalis solis invicti); this festival celebrated the winter solstice, when the days again begin to lengthen and the sun begins to climb higher in the sky. The traditional customs connected with Christmas have accordingly developed from several sources as a result of the coincidence of the celebration of the birth of Christ with the pagan agricultural and solar observances at midwinter. In the Roman world the Saturnalia (December 17) was a time of merrymaking and exchange of gifts. December 25 was also regarded as the birth date of the Iranian mystery god Mithra, the Sun of Righteousness. On the Roman New Year (January 1), houses were decorated with greenery and lights, and gifts were given to children and the poor. To these observances were added the German and Celtic Yule rites when the Teutonic tribes penetrated into Gaul, Britain, and central Europe. Food and good fellowship, the Yule log and Yule cakes, greenery and fir trees, and gifts and greetings all commemorated different aspects of this festive season. Fires and lights, symbols of warmth and lasting life, have always been associated with the winter festival, both pagan and Christian. Since the European Middle Ages, evergreens, as symbols of survival, have been associated with Christmas. Christmas is traditionally regarded as the festival of the family and of children, under the name of whose patron, Saint Nicholas, or Santa Claus, presents are exchanged in many countries”.

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: 
“Alasan mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember TETAP TIDAK PASTI, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa orang-orang Kristen mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’ ...; hari raya ini merayakan titik balik matahari pada musim dingin, dimana siang hari kembali memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit. Jadi, kebiasaan yang bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah berkembang dari beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan kelahiran Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan matahari pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap sebagai hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra, sang Surya Kebenaran”.


Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:

“The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: 
“TIDAK ADA TRADISI TERTENTU YANG PASTI tentang tanggal kelahiran Kristus. Para penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia / alam semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang pada saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru dalam inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ / mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus harus terjadi pada hari yang sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada titik balik matahari pada musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari. ... KEADAAN YANG TEPAT TENTANG PERMULAAN / ASAL USUL HARI NATAL TETAP KABUR”.


Perhatikan 2 hal:

1.   Kata-kata ‘tetap tidak pasti’, ‘tidak ada tradisi tertentu yang pasti’, dan ‘keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur’, yang saya cetak dengan huruf besar itu. Ini menunjukkan bahwa asal usul kafir itu memang tidak bisa dipastikan. Lalu mengapa orang-orang bodoh yang anti Natal ini menuduh hanya berdasarkan suatu kemungkinan yang tidak pasti?

2.   Sedikitnya ada 4 asal usul tanggal 25 Desember (yang tiga dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas, dan yang satu ditambahkan oleh Alfred Edersheim), yaitu:

a.   Hari raya Romawi yang memperingati titik balik matahari.

b.   Hari lahir dari dewa bangsa Iran.

c.   Itu ditentukan oleh para penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat tidak masuk akal).

d.   Alfred Edersheim memberikan asal usul tanggal 25 Desember yang berbeda.
Alfred Edersheim: “the date of the Feast of the Dedication - the 25th of Chislev - seems to have been adopted by the ancient Church as that of the birth of our blessed Lord - Christmas - the Dedication of the true Temple, which was the body of Jesus” [= tanggal dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh dari Yesus (bandingkan dengan Yohanes 2:19-22)] - ‘The Temple’, hal 334.
Perhatikan bahwa point c. dan d. tidak menunjukkan asal usul dari kafir!

Semua ini jelas menunjukkan bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masing simpang siur dan tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang bodoh yang anti Natal itu dengan beraninya (atau dengan cerobohnya / lancangnya) telah menuduh tidak karu-karuan. Menuduh tanpa fakta yang pasti, sama dengan memfitnah!


c)   Sekarang andaikata tanggal 25 Desember itu memang diadopsi dari hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa motivasi orang-orang Kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut.

Encyclopedia Britannica 2000 yang sudah saya kutip di atas, mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal menyaingi perayaan kafir tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian itu.

Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:

“The word Christmas is derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome by the year 336. Many have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.

Saya hanya menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi: 
“Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Maleakhi 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari”.


Hal yang mirip dengan itu adalah, baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’.
  • Daniel 2:37 - “Ya tuanku raja, raja segala raja, yang kepadanya oleh Allah semesta langit telah diberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan”.
  • Ezra 7:12 - “‘Artahsasta, raja segala raja, kepada Ezra, imam dan ahli Taurat Allah semesta langit, dan selanjutnya. Maka sekarang”.

Tetapi gelar dari raja kafir itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah.
  • 1Timotius 6:15 - “yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan”.
  • Wahyu 17:14 - “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia.’”.
  • Wahyu 19:16 - “Dan pada jubahNya dan pahaNya tertulis suatu nama, yaitu: ‘Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.’”.

Mengapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh Encyclopedia di bawah ini.


The International Standard Bible Encyclopedia, vol II:

“The title ‘King of kings,’ denoting absolute authority rather than divinity per se, is used of God and Christ in the NT (always with ‘Lord of lords’: 1Timothy 6:15; Revelation 17:14; 19:16). Its use was a response by both Jews and Christians to the practice of deifying earthly political rulers” [= Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan otoritas mutlak dari pada keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan Kristus dalam PB (selalu dengan ‘Tuhan segala Tuhan’: 1Timotius 6:15; Wahyu 17:14; 19:16). Penggunaannya merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik duniawi] - hal 508.

Jadi rupanya pada jaman itu banyak raja duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’. Orang-orang Kristen merasakan itu sebagai tidak tepat, dan mereka menganggap hanya Yesus / Allah yang pantas memakai gelar itu, dan mereka lalu memberikan gelar itu kepada Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu mereka berikan kepada Allah / Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan atas segala Tuhan’. Jadi mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai saingan terhadap raja-raja kafir yang didewakan oleh rakyat kafir mereka. Apakah ini juga mau kita anggap berasal dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal dari kafir, memang jelas berasal dari kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan motivasi mereka, yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai ‘mulia’?


Demikian juga, andaikata Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk menyaingi hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan bertujuan untuk memuliakan Tuhan.
Apa maksudnya orang-orang Kristen itu menyaingi hari-hari raya kafir itu? Mungkin pada jaman itu orang-orang Kristen tertentu sering menghadiri hari raya kafir, dan pada saat-saat seperti itu biasanya mereka jatuh ke dalam dosa-dosa tertentu, seperti penyembahan berhala, perzinahan, makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan sebagainya. Karena itu gereja lalu menepatkan Natal dengan tanggal tersebut, supaya orang-orang Kristen itu merayakan Natal di gereja, dan tidak pergi ke perayaan-perayaan kafir. Ini mirip dengan jika gereja mengadakan acara pada malam tahun baru (tanggal 31 Desember), yang sebenarnya sama sekali bukan hari Kristen / rohani, tetapi sebaliknya hanya merupakan hari sekuler. Dari pada jemaatnya pergi ke tempat-tempat hiburan yang tidak karuan, lebih baik mereka diarahkan untuk pergi ke gereja. Hanya orang bodoh dan tidak rohani yang akan menyalahkan hal seperti ini!


Bersambung ke bagian 4


Sumber: Golgotha Ministry, Bolehkah Merayakan Natal? oleh Pdt. Budi Asali, M.Div.


Daftar isi, posting bagian 3

Macam-macam alasan untuk menentang Natal dan jawabannya



5) Natal berasal dari kekafiran


    a) Menuduh dengan lidah bercabang

    b) Bahwa Natal berasal usul dari kekafiran tidaklah pasti

    c) Kalau memang dari kekafiran, apa motivasinya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar